
Tingkatkan Motivasi Posyandu Remaja, Kadiskes Berikan Bimbingan
KEPULAUAN MERANTI – Masa depan adalah salah satu alasan maupun motivasi seseorang untuk hidup, sebab masa depan adalah
read moreKEPULAUAN MERANTI – Masa depan adalah salah satu alasan maupun motivasi seseorang untuk hidup, sebab masa depan adalah
read moreStunting adalah manifestasi dari
Berdasarkan Surat Menteri Dalam
INDOPOLITIKA.COM – Akselerasi penurunan
KUPANG, TIMEXKUPANG.com-Upaya dan kerja
Dalam kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi, indikator dampak adalah prevalensi stunting. Adapun indikator capaian antara atau intermediate outcome-nya meliputi anemia pada ibu hamil dan remaja putri, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada bayi, ASI ekskusif, diare pada baduta dan balita, kecacingan pada anak balita, dan gizi buruk pada anak balita. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.4 Kerangka Konseptual Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi dalam buku Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota
Konvergensi merupakan pendekatan penyampaian intervensi yang dilakukan secara terkoordinir, terintegrasi, dan bersama-sama untuk mencegah stunting kepada sasaran prioritas.
Pembelajaran dari keberhasilan di negara-negara lain menunjukkan bahwa efektifitas penurunan stunting ditentukan oleh seberapa menyeluruh atau terpadunya intervensi gizi yang menyasar lokasi dan kelompok sasaran prioritas. Semakin lengkap dan terpadunya intervensi gizi di lokasi dan kelompok sasaran prioritas, maka upaya percepatan penurunan stunting akan semakin efektif. Pembelajaran juga menunjukkan bahwa intervensi gizi paling efektif diberikan pada periode 1000 HPK, sehingga kelompok sasaran prioritas adalah Rumah Tangga 1000 HPK.
Di semua tingkatan pemerintahan mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa.
Untuk memastikan konvergensi intervensi gizi dilaksanakan secara efektif, perlu kejelasan peran dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/kota, sampai dengan Pemerintah Desa. Peran setiap tingkatan pemerintahan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (halaman 33-34) dan Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota (halaman 16)
Semua pihak melalui Tim Koordinasi Lintas Sektor yang ditunjuk/dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Aksi Konvergensi adalah instrumen dalam bentuk kegiatan yang digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan integrasi intervensi gizi dalam pencegahan dan penurunan stunting. Aksi konvergensi sering juga disebut sebagai Aksi Integrasi. Aksi ini digunakan untuk meningkatkan kualitas pendekatan pelaksanaan program dan perilaku lintas sektor agar program dan kegiatan intervensi gizi dapat digunakan oleh keluarga sasaran yaitu rumah tangga 1.000 HPK dengan lebih efektif.
Aksi Konvergensi terdiri dari 8 (delapan) aksi, yaitu:
Agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keterpaduan intervensi gizi melalui mekanisme reguler perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian pembangunan daerah.
Pelaksanaan aksi konvergensi merupakan implementasi Pilar 3- Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting periode 2018-2022. Hasil aksi konvergensi ditujukan untuk dimanfaatkan oleh kabupaten/kota dalam upayanya memperbaiki manajemen intervensi gizi agar lebih terpadu dan tepat sasaran. Tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 31/2019 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2020 yang mengamanatkan pemerintah daerah agar memasukkan kegiatan penanggulangan stunting ke dalam RKPD.
Pendanaan Aksi Konvergensi melekat pada kegiatan perencanaan sampai dengan pengendalian tahunan pemerintah daerah. Sebagai contoh; analisis situasi dilakukan sebagai bagian dari proses analisis gambaran umum kondisi daerah dan perumusan permasalahan pembangunan daerah untuk penyusunan Renja/RKPD. Pemerintah Pusat menyediakan BOK Stunting sebagai stimulan untuk tahun pertama pelaksanaan aksi konvergensi oleh kabupaten/kota prioritas.
Beberapa hal yang dapat dilakukan:
Secara garis besar terdiri dari format output dan format proses. Format output digunakan untuk mendokumentasikan output pelaksanaan aksi konvergensi. Format proses digunakan untuk mendukung/membantu proses analisis. Format output per aksi dapat dilihat pada web monitoring ( http://aksi.bangda.kemendagri.go.id/ ). Format proses dapat dilihat pada materi pelatihan Aksi Konvergensi.
Proses untuk mengidentifikasi sebaran stunting, cakupan intervensi, situasi ketersediaan program, dan praktik manajemen layanan saat ini untuk memahami permasalahan rendahnya integrasi intervensi gizi prioritas pada sasaran rumah tangga 1000 HPK. Penjelasan tentang tujuan, output, tahapan, penanggung jawab, dan jadwal Analisis Situasi selengkapnya pada:
Sumber data adalah para OPD penanggung jawab intervensi gizi. Beberapa contoh praktik baik yang telah dilakukan untuk memperoleh data:
Agar mau saling berbagi data, diperlukan komitmen pimpinan OPD dan jajarannya untuk berkolaborasi dengan OPD lainnya. Untuk merealisasikan komitmen tersebut, kegiatan-kegiatan seperti rapat-rapat koordinasi ataupun rapat-rapat pemantauan dan evaluasi perlu menggunakan/menyajikan data lintas sektor. Di sisi lain, peningkatan kapasitas OPD untuk memperbaiki ketersedian dan kualitas data diperlukan untuk meningkatkan kesiapan dan kepercayaan diri OPD dalam menggunakan dan menganalisis berbagi data.
Kendala yang sering muncul: data tidak tersedia karena tidak adanya pencatatan untuk data tersebut, data belum terbarukan (updated), atau data tersedia namun tidak dalam skala/rincian yang dibutuhkan.
Untuk mengatasinya, OPD perlu mengidentifikasi sumber permasalahan, apakah pada proses pencatatan, alur pelaporan, kapasitas petugas/pelaksana, format/template yang berlaku, dan sebagainya. OPD selanjutnya menyusun rencana kegiatan perbaikan manajemen data pada tahun berjalan dan/atau tahun berikutnya. Untuk analisis situasi, Bappeda dan OPD agar menyepakati data terbaik yang dapat digunakan sementara perbaikan manajemen data tetap dilaksanakan.
Perbaikan manajemen data ini selengkapnya dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Aksi 6 Sistem Manajemen Data.
OPD penanggung jawab data memeriksa kembali alur pencatatan dan pelaporan data, format/template/instrumen yang digunakan, petugas/pelaksana dan mitra petugas/pelaksana di setiap tahapan. OPD mengidentifikasi petugas/pelaksana atau mitra di tingkat desa dan sumber data yang dapat dimanfaatkan. Sumber data yang dimaksud misalkan data Pemerintah Desa, data Posyandu, data pengelola sarana air minum di desa, data kader sanitasi, data fasilitator PKH, dll. Kemudian melakukan penyesuaian yang diperlukan dalam hal format/instrument dan alur pelaporan data.
Kebutuhan Data Sebaran Stunting dan Tindakan yang Diperlukan
Selengkapnya dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Aksi Analisis Situasi
Kebutuhan Data Cakupan Intervensi dan Tindakan yang Diperlukan
Selengkapnya dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Aksi Analisis Situasi
Ketika data ideal pada skala desa tidak tersedia lengkap, maka prioritisasi sekurang-kurangnya meliputi langkah langkah berikut:
Verifikasi/validasi data utamanya dilakukan oleh OPD penanggung jawab data. OPD tersebut agar melibatkan pemangku kebijakan/stakeholders terkait, seperti unit layanan, petugas pelaksana, pihak desa/kelurahan.
Sebaiknya di Bappeda atau di Setda atau unit yang salah satu fungsinya adalah koordinasi lintas sektor.
Analisis memerlukan data supply dan informasi praktik manajemen layanan saat ini. Data supply yang diperlukan sekurang-kurangnya adalah data jumlah dan distribusi sarana/prasarana, SDM, logistik/peralatan.
Menyusun rencana kegiatan untuk menindaklanjuti dan merealisasikan rekomendasi hasil analisis situasi. Penjelasan tentang tujuan, output, tahapan, penanggung jawab, dan jadwal aksi rencana kegiatan ini selengkapnya dapat dilihat pada:
Rekomendasi hasil analisis situasi menjadi bahan penyusunan rencana kegiatan. Rencana kegiatan selanjutnya diinternalisasi/digunakan untuk penyusunan Renja dan RKPD, untuk mengarahkan kegiatan terkait stunting bersumber APBDesa, untuk pengusulan kegiatan DAK, kegiatan yang didanai APBD Prov, APBN, serta sumber pendanaan lainnya.
Menyusun rencana kegiatan berdasarkan rekomendasi hasil analisis situasi dan menggunakan rencana kegiatan tersebut untuk mengakses berbagai sumber pendanaan yang dapat dimanfaatkan di wilayah Kabupaten/Kota
DAK Stunting meliputi DAK Fisik (bidang kesehatan, bidang air minum, bidang sanitasi) dan DAK Non Fisik (bantuan operasional kesehatan, bantuan operasional keluarga berencana). Proposal DAK Stunting agar mengacu pada Rencana Kegiatan yang disusun berdasarkan rekomendasi hasil analisis situasi. Kegiatan dalam proposal DAK tersebut agar memasukkan semua kegiatan yang dalam rencana kegiatan diindikasikan didanai dengan DAK. Lokasi kegiatan dalam proposal DAK tersebut juga meliputi daftar desa fokus yang diindikasikan sebagai lokasi DAK stunting.
Silakan mengacu pada:
Tikar Pertumbuhan
Alat Ukur Antropometri
Dilakukan:
Tidak dilakukan:
Mobilisasi KPM dilakukan oleh Desa melalui koordinasi dan pembinaan dari DPMD. DPMD juga melaksanakan pelatihan KPM dengan modul pelatihan yang disiapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. DPMD selanjutnya berkoordinasi dengan OPD terkait dalam memberikan lanjutan pembinaan kinerja KPM. Dinas dan OPD diharapkan dapat memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh KPM terkait konvergensi layanan pada RT 1000 HPK di setiap desa. Kegiatan pokok pembinaan KPM di tingkat kabupaten/kota selengkapnya pada Materi Pembekalan Aksi 5 (http://aksi.bangda.kemendagri.go.id/materi_pembekalan_aksi).
Peran KPM berbeda dan tidak tumpang tindih dengan peran pendamping desa. Peran pokok KPM adalah pada advokasi dan pemantauan konvergensi layanan pada RT 1000 HPK, sedangkan pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan memiliki peran yang lebih umum, yaitu mendampingi Desa dalam penyelenggaraan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pada Aksi 6, Bappeda dan OPD memperbaiki ketersediaan, kualitas, dan akses terhadap data prevalensi stunting dan data cakupan intervensi gizi spesifik dan sensitif. OPD-OPD memperbaiki ketersediaan data tersebut sehingga dapat dirinci sampai dengan tingkat desa, memutakhirkannya secara berkala, dan menyediakan akses bagi OPD lain untuk memanfaatkan data.
Tahapan yang dilakukan pada Aksi 6 ini meliputi:
Perbaikan system manajemen data sekurang-kurangnya mencakup data-data yang digunakan untuk Analisis Situasi (Aksi 1) dan review kinerja tahunan (Aksi 8), yaitu:
Kabupaten/kota dapat menambahkan indikator-indikator lainnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Data hasil pengukuran pada aksi 7, berupa data panjang atau tinggi badan berdasarkan umur, digunakan untuk memutakirkan data status gizi pada e-PPGBM. Analisis hasil pengukuran tersebut kemudian dipublikasikan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam gerakan bersama untuk percepatan pencegahan dan penanganan stunting.
Pengukuran dilakukan sesuai usia anak. Anak berusia kurang dari 1 tahun, diukur minimal setiap 3 bulan. Anak yang berusia antara 1 sampai dengan 2 tahun diukur minimal setiap 6 bulan (dapat bersamaan dengan bulan penimbangan balita). Kabupaten/kota menggunakan hasil pengukuran tsb untuk memantau perkembangan sebaran stunting dan memantau efektivitas pelaksanaan intervensi gizi pada kelompok sasaran prioritas (RT 1000 HPK).
Posyandu agar menggunakan alat ukur standard (antropometri) dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan anak dan mencatatnya dalam Buku KIA. Untuk itu, Dinas Kesehatan dan Puskesmas agar memastikan setiap kegiatan Posyandu dilengkapi dengan alat antropometri.
Dukungan pembiayaan melalui BOK agar juga dimanfaatkan untuk mengisi kekurangan tenaga gizi. BOK dapat dimanfaatkan untuk rekrutmen tenaga gizi, maksimal 4 orang per puskesmas.
Publikasi dilaksanakan oleh kabupaten sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun.
Publikasi hasil analisis data pengukuran disusun untuk dua tingkatan: i). tingkat kabupaten/kota, dan ii). tingkat kecamatan.
Publikasi tingkat kabupaten/kota menginformasikan perkembangan jumlah kasus dan prevalensi stunting yang dirinci per kecamatan. Sementara publikasi tingkat kecamatan menginformasikan perkembangan prevalensi stunting yang dirinci per desa.
Selain tingkat prevalensi, publikasi di kedua tingkatan tersebut memuat informasi hasil analisis. Hasil analisis tersebut setidaknya mencakup:
- Faktor determinan yang utama
- Perilaku-perilaku kunci yang masih bermasalah
- Kelompok sasaran yang berisiko
Publikasi stunting tidak dimaksudkan untuk mempublikasikan informasi personal dari anak stunting dan atau keluarganya.
Terlampir adalah contoh/template publikasi yang dapat digunakan. Kabupaten/kota juga dapat mengembangkan template lain sesuai kebutuhan.
Publikasi dilaksanakan dengan berbagai metode dan pendekatan; seperti:
Pemerintah Kabupaten/Kota menentukan desa lokus berdasarkan hasil Analisis Situasi (Aksi 1). Penentuan desa lokus tersebut memperhatikan data sebaran stunting dan data cakupan intervensi. Jumlah desa lokus per tahun menyesuaikan dengan kemampuan berbagai sumber daya yang dapat dioptimalkan kabupaten/kota. Tahapan pelaksanaan Analisis Situasi selengkapnya pada Petunjuk Teknis Aksi 1 Analisis Situasi.
Provinsi dapat menambah kabupaten/kota yang diprioritaskan pada skala provinsi. Untuk menentukan tambahan kabupaten/kota tersebut, provinsi dapat menggunakan beberapa indikator seperti sebaran stunting per kabupaten/kota, cakupan intervensi gizi, outcome intervensi gizi, serta proposal kabupaten/kota untuk percepatan pencegahan/penurunan stunting. Provinsi sebaiknya menggunakan data Riskesdas 2018, namun karena data tingkat kabupaten belum tersedia secara online, Pemerintah Provinsi dapat menghubungi Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas untuk mendapatkan datanya dan mendiskusikan lebih lanjut rencana penambahan tersebut.
Pemerintah Provinsi tidak melakukan 8 aksi konvergensi. Pemerintah Provinsi melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota dalam upaya konvergensi intervensi gizi, Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan melalui hal-hal berikut:
Berdasarkan usulan/proposal kabupaten/kota dan kemampuan keuangannya, Provinsi dapat mengalokasikan APBD-nya untuk mendukung kegiatan peningkatan cakupan dan kualitas intervensi gizi di kabupaten/kota.
Provinsi diharapkan melakukan pemetaan kemajuan kabupaten/kota dan mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif. Insentif dapat dilakukan antara lain dengan:
Bappeda dan DPMD Provinsi agar proaktif bekerjasama dengan Bappeda dan DPMD kabupaten/kota. Pemantauan dilakukan melalui Bappeda dan DPMD kabupaten/kota serta didukung kunjungan lapangan jika diperlukan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan:
Bappeda Provinsi dan Dinas Kesehatan Provinsi agar proaktif bekerjasama dengan Bappeda dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan pemanfaatan BOK Stunting dalam mendukung pelaksanaan aksi konvergensi di kabupaten/kota.
Melaksanakan dan memanfaatkan hasil aksi konvergensi dalam siklus tahunan daerah untuk meningkatkan keterpaduan penyelenggaraan intervensi gizi pada lokasi dan kelompok sasaran prioritas (Rumah Tangga 1000 HPK).
Pemerintah Desa berperan untuk memastikan Rumah Tangga 1000 HPK menerima dan memanfaatkan intervensi yang disediakan, serta berperan untuk mengalokasikan kegiatan pencegahan stunting sesuai kewenangan dan kebutuhan setempat. Pemerintah Desa/Kelurahan memobilisasi kader pembangunan manusia (KPM) dan memastikan KPM dilengkapi dengan biaya operasional dan insentif yang memadai.
Masyarakat berperan untuk membantu memastikan intervensi gizi dapat diakses secara lengkap oleh setiap Rumah Tangga 1.000 HPK.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah menerbitkan tiga panduan, yaitu:
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri cq Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah menyediakan Bantuan Teknis yang berbasis di provinsi (Technical Assistance Pool/Tenaga Ahli Provinsi/TAP). Pemerintah Provinsi mengelola kegiatan bantuan teknis tersebut untuk:
Informasi selengkapnya tentang TAP agar menghubungi Subdit Kesehatan, Direktorat SUPD III, Ditjen Bina Bangda melalui email subditkesehatan.kemendagri@gmail.com
Kementerian Dalam Negeri cq Ditjen Bina Bangda telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Kabupaten/Kota. Petunjuk Teknis tersebut disusun sebagai panduan bagi Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah dalam melaksanakan penilaian kinerja bagi kabupaten/kota.
Penilaian Kinerja dilakukan setiap Juli-Agustus. Untuk dapat mempersiapkan pelaksanaannya agar tepat waktu, Pemerintah Provinsi –melalui Tim Koordinasi Provinsi—agar mempelajari Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Kabupaten/Kota. Untuk konsultasi lebih lanjut dapat menghubungi Subdit Kesehatan, Direktorat SUPD III, Ditjen Bina Bangda atau TA Pool/Tenaga Ahli Provinsi (TAP)
Kondisi ini terjadi pada sebagian kabupaten/kota peserta Penilaian Kinerja Tahun 2019. Pasca penilaian kinerja Tahun 2019, kabupaten/kota tersebut perlu melanjutkan analisis situasi-nya pada seluruh desa/kelurahan di wilayahnya. Pada penilaian kinerja tahun berikutnya, kondisi ini diharapkan tidak terjadi lagi karena penetapan desa prioritas tidak lagi berdasarkan keputusan Pemerintah Pusat melainkan keputusan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Kabupaten/kota yang tidak mau dinilai akan menjadi catatan bagi Provinsi dan Kementerian Dalam Negeri. Mengacu kepada PP No. 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, penyelenggaraan kegiatan pencegahan dan penurunan stunting termasuk dalam urusan wajib daerah yang ada SPMnya.
Penilaian kinerja kabupaten/kota ditujukan untuk kabupaten/kota yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai kabupaten/kota prioritas. Kabupaten/kota yang belum ditetapkan sebagai kabupaten/kota prioritas oleh Pemerintah Pusat dapat menjadi peserta penilaian kinerja berdasarkan keputusan/kebijakan Pemerintah Provinsi.
Tidak harus. Tim Panelis adalah bagian dari Tim Koordinasi Lintas Sektor Provinsi.
"Gizi Seimbang, Prestasi Gemilang.
untuk Indonesia Maju, Generasi Penuh Prestasi."